Oleh: Ali Mustofa Akbar
Di tengah kegaduhan situasi politik
Indonesia yang tak menentu, tiba-tiba mencuat kasus seputar Ahmadiyah.
Bentrokan kembali terjadi antara warga dengan jemaat Ahmadiyah. Kali
ini terjadi di Pandeglang, Banten.
Patut disayangkan kenapa bentrokan ini
bisa terjadi. Padahal sejatinya hal ini bisa dihindarkan bilamana
pemerintah mau bertindak tegas terhadap Ahmadiyah. Sebagaimana sudah
diketahui, bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan.
Hal ini pun sudah ditegaskan oleh
MUI. Begitu pula dengan hasil
keputusan Bakorpakem Indonesia serta Majma’Al-Fiqh Al-Islami OKI.
Hasil Fatwa MUI
Sidang paripurna Lengkap Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia Pada tanggal 4 Maret 1984 memutuskan :
Bahwa Jemaat Ahmadiyah di wilayah
negara Republik Indonesia yang berstatus sebagai badan hukum
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I No.JA/23/13 tanggal
13-3-1953 (tambahan Berita Negara tanggal 31-3-1953 No.26 ) bagi umat
Islam menimbulkan: Keresahan karena isi ajarannya bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Perpecahan khususnya dalam hal ubudiyah (shalat),
bidang Munakahat dan lain-lain.
Bahaya bagi ketertiban dan keamanan
Negara. Maka dengan alas-alasan tersebut dimohon kepada pihak yang
berwenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I.
tersebut.
Menyerukan: Agar Majelis Ulama
Indonesia , Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, para
Ulama dan Dai di seluruh Indonesia menjelaskan kepada masyarakat
tentang sesatnya Jemaat Ahmadiyah Qadiyani yang berada di luar Islam.
Bagi mereka yang telanjur mengikuti
Jemaat Ahmadiyah Qadiyani supaya segera kembali kepada ajaran Islam
yang benar. Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi
kewaspadaannya, sehingga tidak terpengaruh dengan faham yang sesat itu
Di beberapa Negara lain, Ahmadiyah
telah dinyatakan keluar dari Islam. Pemerintah Malaysia misalnya telah
melarang ajaran Qadiani dan dianggap kafir sejak tanggal 18 Juni 1975.
Kerajaan Brunei juga telah melarang ajaran Ahmadiyah berkembang di
negara Brunei Darussalam. Kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa
Ahmadiyah kafir dan tidak boleh memasuki tanah haram. Sedangkan di
Pakistan telah dinyatakan bahwa Ahmadiyah adalah termasuk kelompok
minoritas non-muslim, sama kedudukannya dengan agama Nasrani, Sikh, dll.
Kasus Ahmadiyah Bukan tentang Kebebasan Beragama
Kami hanya ingin mengingatkan kepada
beberapa pihak yang mengaitkan Ahmadiyah dengan kebebasan beragama.
Perlu juga diketahui bersama, bahwa Ahmadiyah bukanlah tentang
kebebasan beragama, melainkan sebuah bentuk penodaan Agama. Mereka
mengakui sebagai agama Islam namun ajarannya telah mengobok-obok
prinsip-prinsip Islam. Semisal diantaranya:
Pertama,
Meyakini ada nabi sesudah Muhammad SAW. Mirza Ghulam Ahmad mengaku
sebagai Nabi kemudian diyakini oleh pengikutnya, sebagian lagi
menganggap sebagai pembaharu meski Misza sendiri mengaku sebagai nabi.
Dalam kitab Tuhfatut an-Nadwah Mirza Ghulam Ahmad berkata:
“Seperti yang aku katakan berkali-kali
bahwa apa yang aku bacakan kepadamu adalah benar-benar kalam Allah,
sebagaimana al Quran dan taurat adalah kalam Allah, dan bahwa aku
adalah seorang nabi “Dzilli “ (nabi mendapat wahyu dan syariat) dan
“Buruzi” (nabi yang tidak membawa syariat). Dan setiap muslim harus
mematuhiku dalam masalah-masalah agama. Siapa saja yang mengetahui
kabarku tentang diriku, tetapi tidak menjadikanku hakim dalam
memutuskan masalahnya, ataupun tidak mengakuiku sebagai al masih yang
dijanjikan, ataupun tidak mengakui wahyu yang aku terima dari Tuhan,
maka dia akan mendapat azab di akhirat kelak karena dia telah menolak
apa yang seharusnya dia terima. (Tuhfat an-Nadwah, hal. 4 ).
Padahal sesuai dengan prinsip akidah
Islam bahwa jelas tidak ada nabi maupun Rasul setelah Muhammad Saw.
Sebagaimana Firman Allah SWT: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak
dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(Qs. Al-Ahzab 40).
Begitu pula dengan hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada nabi sesudahku”. (HR. Bukhari).
“Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku” (HR. Tirmidzi)
Kedua, Mengacak-acak Al-Qur’an. Semisal ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107).
Kemudian dirubah oleh Mirza Ghulam Ahmad dalam kitab sucinya Tadzkirah dengan berbunyi: “Dan kami tidak mengutus engkau –wahai Mirza ghulam Ahmad- kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Kitab Tadzkirah, hal.634 ).
Solusi untuk Ahmadiyah
Maka untuk menghindari terjadinya
kekacauan yang tidak diinginkan lagi, sudah semestinya pemerintah
supaya menindak tegas Ahmadiyah untuk melindungi akidah rakyatnya
dengan cara membubarkan organisasi tersebut kemudian pemeluknya diminta
untuk kembali ke jalan yang benar. Atau Ahmadiyah di tetapkan sebagai
pihak non-Islam. Serta terapkan syariah Islam secara kaffah untuk
Indonesia yang lebih damai dan maju.
“Imam yang diangkat untuk memimpin
manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” ( HR. Bukhari).
Wallahu a’lamu bis-shawaab.
Sumber : http://www.voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari jalin silaturahim dengan
Berikan komentar anda untuk kemajuan Blog ini.